Berlayar di Sungai Nil, bagian 1: Pengantar


"Mesir adalah hadiah dari Nil" kata Herodotus.

Sulit dibantah. Tanpa sungai Nil, bisa dipastikan peradaban Mesir kuno yang sudah berjaya ribuan tahun lalu saat bagian dunia lain masih berburu dan meramu, tidak akan pernah bersemi. Demikian pentingnya arti sungai Nil, orang Mesir kuno menamakan negara mereka "Khemet"; "hitam", merujuk pada warna lumpur yang dibawa oleh banjir Nil. Setiap tahun, selama ribuan tahun, banjir sungai Nil merendam daerah di sekitarnya. Banjir ini membawa endapan lumpur yang kaya nutrisi, menyuburkan kembali tanah pertanian di sekitar aliran Nil. Semakin tinggi banjir, bisa dipastikan daerah yang terendam semakin luas dan tanah pertanian yang kembali disuburkan pun semakin melebar. Pemerintah Mesir kuno bahkan menetapkan pajak berdasarkan tinggi banjir Nil: semakin tinggi banjir, semakin tinggi pajak pada tahun itu (karena otomatis panen semakin melimpah!).

Saat ini, banjir sungai Nil hanya kenangan masa lalu. Dengan dibangunnya Aswan Dam, aliran Nil telah diatur sedemikian sehingga banjir tidak terjadi lagi. Maklum populasi Mesir sudah berkembang sehingga banjir jadi urusan yang super merepotkan (orang Indonesia pasti tahu kan, bagaimana tidak enaknya kebanjiran!) Dilema memang, karena di satu sisi banjir berarti regenerasi nutrisi tanah, di sisi lain berarti terganggu atau bahkan rusaknya infrastruktur.

Hampir semua situs perdaban Mesir Kuno terletak di sepanjang aliran Nil. Mudah dimengerti, karena Mesir sebenarnya adalah dataran kering dengan curah hujan hampir nol. Ketika kita menyusuri sungai Nil, kita bisa melihat jelas bagaimana dataran yang dekat dengan Nil begitu hijau dan subur, sedangkan di latar belakangnya gunung-gunung berdesakan tanpa sebatang pun tanaman yang sanggup tumbuh.

Jadi, untuk napak tilas perdaban Mesir kuno, cara terbaik tentu saja berlayar menyusuri Nil. Sungai Nil mengalir ribuan kilometer membelah Afrika, bermula dari dua sumber: Nil Putih yang bersumber di Danau Victoria (Afrika Tengah) dan Nil Biru yang berhilir di Ethiopia. Kedua sumber ini bertemu di Sudan lalu mengalir membelah padang kering hingga bermuara di Laut Tengah.
Jadi tentu saja saya tidak perlu melayari Nil mulai dari hulu hingga hilir, karena liburan saya cuma seminggu, hehehe...

Rute klasik menyusuri Nil adalah dari Luxor ke Aswan (menentang arus), atau sebaliknya, searah arus, dari Aswan ke Luxor. Saya memilih menentang arus untuk menyesuaikan dengan kepribadian saya. Hehehe, bukan sih. Saya memilih menentang arus karena pelayaran menjadi lebih lama sedikit dan saya punya waktu lebih untuk menikmati Nil. Hei, saya datang jauh-jauh dari Jogja nih...!

No comments