Pagi itu, setiba dari Heathrow airport, udara musim semi yang sejuk menyambut saya di King's Cross station. Agak celingak-celinguk, siapa tahu Harry Potter pas ada di sini, di Platform 9-3/4 sebelum berangkat ke Hogwarts...?
( By the way, Platform 9-3/4 benar-benar ada: dinding bata merah antara Platform 9 dan 10, dibuat spesial untuk memenuhi permintaan khalayak. Konon para turis sering memadati area di depan dinding bata ini untuk berfoto. Yang lebih fanatik bahkan nekat mendorong trolley mencoba menembus dinding ini! Note: if you are not a Harry Potter lover, you might be confused with all of this. Man, buy a Harry Potter book and read it! This is 21st century and people read Harry Potter!! :D )
Hotel yang saya pesan lewat internet terletak dekat Trafalgar Square, jadi saya pun melanjutkan perjalanan dengan tube (=kereta bawah tanah) ke sana. Pagi itu Trafalgar Square sudah ramai. Ada yang ngobrol, sarapan, atau sekedar see-and-be-seen (=ngeceng), ditemani ratusan burung merpati yang sepertinya melakukan kegiatan yang sama dengan manusianya.
Day 1
London pagi itu saya mulai dengan mengunjungi landmark-nya: Big Ben. Setelah berfoto di depan jam besar berumur 160 tahun yang ternyata oh-cuma-begini-toh?, saya melanjutkan dengan Houses of Parliament yang berada tepat di belakang Big Ben.
Bangunan yang sering juga disebut Westminster Palace dan merupakan tempat pertemuan parlemen Inggris ini adalah salah satu bangunan paling cantik yang pernah saya lihat. Sayangnya, tur ke dalam Houses of Parliament hanya dibuka selama dua bulan di musim panas saat parlemen sedang reses. Jadi saya harus puas dengan berfoto-foto di luar saja.
Masih di area yang sama, tepat di depan Houses of Parliament, adalah gereja paling terkenal di Inggris: Westminster Abbey. Berumur sekitar 950 tahun, di sinilah para raja dan ratu Inggris dimahkotai, juga tempat keluarga kerajaan dimakamkan (termasuk beberapa orang terkenal yang "diningratkan": Isaac Newton dan Charles Dickens).
Dari Westminster Abbey, saya berjalan menyusuri St. James Park dengan tujuan istana Buckingham. Di tengah jalan, saya berpapasan dengan serombongan pengawal berkuda yang juga menuju ke istana Buckingham. Kontan saja saya (dan para turis lainnya) bergegas mengikuti mereka karena kami tidak mau ketinggalan atraksi pergantian penjaga istana Buckingham.
Setiap pagi, saat pengawal istana berganti shift, mereka keluar berbaris dan memainkan lagu-lagu. Jelas sekali hal ini menarik para turis dan mereka tahu hal itu. Buktinya, selain lagu kebangsaan Inggris, mereka juga 'menghibur' para turis dengan memainkan lagu "Killer Queen"-nya Queen dalam pergantian pengawal itu dengan wajah seserius persiapan perang!
Perjalanan saya lanjutkan ke British Museum. Tentu saja, menggunakan tube. Hal yang sangat menyenangkan di London, jaringan kereta bawah tanah sudah menghubungkan hampir setiap sudut di London. Walhasil, perjalanan sangat mudah dan murah (karena kita bisa membeli daily ticket yang bisa digunakan untuk perjalanan ke mana saja dalam sehari). Jalanan juga menjadi lega, sehingga berjalan kaki menjadi urusan yang sangat menyenangkan: tidak ada debu atau asap knalpot berlebihan.
Siang itu saya makan siang di great court British Museum, di bawah kanopi gelas yang konon merupakan square tertutup terluas di Eropa. Meskipun (seperti dibilang banyak orang) makanan Inggris benar-benar tidak enak, saya tidak bisa complain dengan suasana senyaman itu. British Museum, salah satu museum terbesar di dunia, pertama dibuka tahun 1753, memiliki koleksi sebanyak 13 juta objek (tentu saja tidak semuanya dipamerkan!). Konon, untuk benar-benar menikmati British Museum kita membutuhkan tidak kurang dari satu bulan.
Koleksi British Museum meliputi setiap sudut dunia: Romawi dan Yunani, Mesir dan Sudan, Mesopotamia, Assyria, Middle East, Cina, Asia Tenggara,... Salah satu koleksi British Museum yang paling terkenal adalah the Rosetta Stone yang merupakan kunci penerjemahan huruf hieroglif Mesir kuno (ada yang masih ingat pelajaran sejarah es-em-a?)
Di sudut Indonesia, kita bisa melihat beberapa patung kuno dari candi-candi di Indonesia dipamerkan di sini. Rasanya campur aduk juga melihat kekayaan budaya kita justru dipamerkan di luar negeri (mungkin kalau dipamerkan di negeri sendiri malah tidak ada yang peduli).
Malamnya, saya menonton opera modern "Phantom of the Opera"(opera yang ditulis Andrew Lloyd Weber yang orang Amerika dan pertama kali dipopulerkan di Broadway), di teater dekat Trafalgar Square. Saya membeli tiket termurah seharga 40 pound karena teman saya agak sinis dengan ide nonton opera dan cuma mau membayar tiket termurah (yang juga nggak murah-murah amat...). Namun ternyata, pertunjukannya benar-benar spektakuler sehingga kami keluar dengan agak menyesal karena duduk di kursi termurah yang butuh menjulurkan leher panjang-panjang untuk melihat panggung...
Day 2
Pagi itu saya memutuskan untuk menjadi turis sejati dengan mengikuti tur menggunakan double decker bus mengelilingi London. Namun beberapa saat kemudian saya agak bosan, lalu memilih untuk turun dan mingle dengan londoners di salah satu tempat paling ramai di London: Piccadilly Circus (tidak ada sirkus di sini, circus di sini berarti 'circle' atau 'lingkaran'). Dipadati toko-toko, restauran, dan orang-orang yang berdesakan, saya bisa melihat bahwa londoners sekarang bukan berarti british. Restauran cina, india, dan arab nampak di mana-mana, demikian juga dengan orang-orang dengan berbagai warna kulit dan ras. Bahkan konon, makanan paling populer di London sekarang bukan lagi fish & chips tapi chicken tikka.
Sorenya saya mengambil tur menyusuri sungai Thames. Menyusuri sungai yang sedemikian bersihnya, melewati Tower Bridge, House Parliaments, dan juga London Eye; melintasi sejarah yang dibangun selama ratusan tahun bahkan lebih dari satu milenium, saya benar-benar menyadari betapa beruntungnya London memiliki pemerintah yang begitu mengelola kotanya dan melindungi peninggalan bersejarahnya. Bahkan sungai Thames yang tanpaknya begitu alami ini pun sebenarnya tidak luput dari campur tangan science yang sophisticated. Akibat global warming, permukaan laut semakin meningkat dan juga mempengaruhi ketinggian sungai Thames. Di muara sungai Thames, telah dibangun dam canggih yang bisa dibuka-tutup, yang diregulasi sedemikian sehingga mencegah naiknya permukaan sungai yang terlalu tinggi. Tanpa dam ini, London akan mengalami banjir dari waktu ke waktu seperti Jakarta.
Menjelang matahari terbenam, saya pun sudah duduk di dalam London Eye. Persis terletak di tepi selatan sungai Thames, London Eye adalah ferris wheel tertinggi di Eropa (135 meter). Inilah cara paling nyaman menikmati pemandangan London dari atas, setiap kapsulnya ditutup dinding tembus pandang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kerja Candra di mana ya?
ReplyDeleteBisa happy keliling dunia.
Please inform.
Hai Dwika, sori br balas, maklum lama cuti blogging...
DeleteAku kerja di perminyakan, jd gak terlalu berhubungan sm traveling. Tapi udah terlanjur hobi keluyuran sih :D