Berlin, ibukota Jerman, terkenal sebagai kota yang terbuka, toleran, dan begitu kaya sejarah. Tahun 1989, sejarah mencatat revolusi yang sangat simbolik terjadi di sini: runtuhnya tembok Berlin. Tapi selain itu, Berlin juga terkenal sebagai kotanya para party-goers; konon katanya kota paling hedonis di Eropa!
Masalah cuaca, saya memang selalu beruntung. Matahari bersinar cerah waktu saya tiba di Berlin, sehingga udara musim semi tidak terlalu dingin menggigit ("You, lucky pig!" kata teman jerman saya dengan panggilan berlin yang sangat bersahabat).
Katedral Berlin, dilihat dari Lustgarten |
Kesan pertama, lalu lintas di Berlin benar-benar jauh berbeda dengan ibukota tercinta kita, Jakarta. Walaupun jalannya sempit-sempit, tapi lancar. Mobil di jalanan sedikit sekali*. Pastinya lah, karena transportasi umum nya bagus sekali, sehingga orang malas nyetir sendiri. Makanya, cewek-cewek di sini jarang sekali yang pakai high heels. Hampir semuanya pakai sepatu yang enak dipakai jalan, jadi mereka bisa luwes naik turun kereta atau bis. Walaupun katanya orang Jerman dandanannya wagu, tapi menurut saya para cewek di Berlin tuh so effortlessly stylish loh. Selain itu, banyak sekali yang memilih bersepeda. Nggak peduli pakai jas
atau anak punk, mereka nggak malu-malu naik sepeda. Seperti kota besar
Eropa lainnya, Berlin punya sistim penyewaan sepeda online yang tersedia
hampir di setiap pojok jalan pusat kota. So cool!
Ishtar Gate di Pergamon Museum |
Pas banget karena Berlin punya sebuah kompleks museum yang disebut Museumsinsel (museum island/ pulau museum), yang termasuk sebagai UNESCO World Heritage Site. Yang cinta sejarah dan nggak gampang ngantuk di museum, untuk mengunjungi museum-museum di sini sambil menghayati, kayaknya butuh 2-3 hari...
Oh iya, saya sarankan untuk membeli 'Berlin Pass' yang berlaku 1,2, atau 3 hari, untuk bisa mengunjungi semua museum di Museumsinsel gratis, free public transport dalam region Berlin, plus diskon untuk tempat menarik lainnya.
Museumsinsel ini di antaranya terdiri dari Pergamon Museum, yang salah satu koleksi bintangnya adalah Ishtar Gate, yang dibangun raja Nebukadnezar dari Babilonia pada tahun 575 SM. Lantai kedua Pergamon Museum didedikasikan untuk Islamic Art, dengan koleksi karya seni dari abad ke 8 hingga ke 19 M.
Selanjutnya ada Altes Museum, yang koleksinya terutama berasal dari masa Romawi, Yunani, dan
Cyprus. Koleksi paling menarik di sini, menurut saya adalah hasil galian kota Troya oleh Heinrich Schlieman, termasuk beberapa perhiasan emas yang spektakuler. Lumayan kontroversial, karena belum ada yang 100% yakin kalau kota kuno yang digali oleh Schlieman ini benar-benar kota yang dimaksud oleh pengarang Homer dalam legenda Troya yang terkenal itu.
Cyprus. Koleksi paling menarik di sini, menurut saya adalah hasil galian kota Troya oleh Heinrich Schlieman, termasuk beberapa perhiasan emas yang spektakuler. Lumayan kontroversial, karena belum ada yang 100% yakin kalau kota kuno yang digali oleh Schlieman ini benar-benar kota yang dimaksud oleh pengarang Homer dalam legenda Troya yang terkenal itu.
Altes Museum, Berlin |
Lalu ada Neues Museum, dengan koleksinya yang sangat terkenal, yaitu patung ratu Nefertiti dari Mesir. Patung berumur lebih dari 2800 tahun tersebut terlihat sangat realistik, cantik dan anggun sekali. Selain itu, Neues Museum juga mengkoleksi peninggalan kuno dari Mesir lainnya.
Nah, sekarang mungkin semua heran- kok bisa semua peninggalan luar bisa berharga dan kuno dari negara lain ini berakhir di Jerman? Jawabannya: passion, dedikasi, kekuasaan, dan uang! Pertanyaan selanjutnya: ngapain juga ke Berlin tapi melihat peninggalan bangsa lain?
Nah, untuk memahami sejarah bangsa Jerman, sebelum melihat monumen lain di Berlin, wajiblah mengunjungi German Historical Museum yang cuma sengesotan dari Museumsinsel. Di sini kita bisa melihat sejarah Jerman, mulai dari zaman prasejarah, kekaisaran, hingga terbentuknya republik, masa di bawah Nazi, terbaginya menjadi Jerman Barat dan Timur, hingga kini.
Semua museum di atas sangat teratur dan ditata sangat runut (german style!). Kita juga bisa menggunakan audio guide tanpa biaya tambahan (kecuali di German Historical Museum, ekstra 3 Euro), sehingga sejarah dari koleksi tersebut sangat jelas.
Bradenburg Gate: dipenuhi turis dan entertainer jalanan |
Dari situ, saya lanjut menyusuri avenue Unter den Linden yang dipenuhi tempat bersejarah, di antaranya Bebelplatz (tempat Nazi membakar buku-buku yang tidak disetujui rezimnya), Berlin State Opera, dan Hotel Adlon (dari dulu sudah terkenal tempat menginapnya para raja, semakin terkenal setelah Michael Jackson mengayun bayinya dari jendela untuk pamer). Di ujung Unter den Linden, ada Bradenburg Tor (Bardenburg gate). Dulu saat Jerman masih terpecah, Bradenburg Gate yang menghubungkan Berlin Barat dengan Berlin Timur ini ditutup. Saat tembok Berlin diruntuhkan, ribuan orang tumpah ruah merayakan di sini, dan sekarang menjadi simbol perdamaian serta persatuan.
The Holocaust Memorial yang bentuknya kotak-kotak |
Masih bisa ditempuh dengan jalan kaki, dekat dengan Bradenburg Tor adalah Holocaust-Mahnmal (holocaust memorial), monumen kubisme untuk menghormati para korban holocaust, juga Reichstag, gedung Parlemen German dengan cupola gelasnya yang spektakuler. Dari situ kita bisa bersepeda ke Check Point Charlie, gardu militer perbatasan sektor Amerika pasca perang Dunia II, serta The Wall Museum, di mana kita bisa melihat sebagian tembok Berlin yang masih dibiarkan utuh sebagai monumen.
Bagian tembok Berlin yang dijadikan monumen |
Untuk mengkonfirmasi reputasi Berlin sebagai kota paling hedonis di Eropa, saya agak kesulitan. Maklum, setelah seharian jalan, malamnya capek juga. Rencana untuk gaul ke Berghain, club techno super terkenal di Berlin dengan door policy yang ajib, juga nggak kesampaian karena semuanya kecapekan. Tapi lumayan juga, kami sempat mampir ke sebuah jazz club terkenal, Quasimodo. Crowd di Berlin sangat casual dan nyantai, semua orang sangat toleran dan cool...!
Demonstrasi cinta rumput di Unter den Linden |
This is Berlin, everyone is welcome!
* dengan area 20% lebih luas, penduduk Berlin cuma 3.5 juta vs Jakarta 10 juta lebih. Jadi wajar nggak ya kalau Jakarta macet, apalagi tanpa ada public transport yang memadai? Salah siapa? *sigh*
No comments