Lost in Translation: Beijing

Saya di Beijing cuma dua hari untuk urusan pekerjaan, jadi waktu jalan-jalan benar-benar terbatas. Setiap waktu luang harus dipergunakan semaksimal mungkin.
Pukul setengah delapan pagi itu saya sudah bersiap naik taksi menuju ke Forbidden City. Teman saya sudah mengingatkan, lalu lintas di Beijing sangat padat di pagi hari, jadi saya harus berangkat sepagi mungkin supaya bisa selesai mengitari Kota Terlarang sepuasnya.
"Forbidden city," kata saya pada si sopir taksi. "#*&@%}+ ?" katanya.
Saya langsung menyodorkan secarik kertas bertuliskan Forbidden City dalam alfabet Cina kepada si sopir. Ia langsung mengangguk dan tancap gas. Huh! Untung sebelum berangkat saya sudah minta concierge hotel menuliskan tujuan saya di kertas...

40 menit kemudian saya sudah berdiri di gerbang belakang the Forbidden City. Entah kenapa si sopir taksi menurunkan saya di sana, tapi ketimbang harus berdebat pakai bahasa Cina mendingan saya ngalah deh. Saya pun berjalan menuju pintu masuk, melintasi jalan di samping kanal yang romantis sekali dengan dinding merah Forbidden City menjulang di depan saya (oh, thank you Mr Driver, now I know why!)


Forbidden City yang merupakan kediaman Kaisar Cina selama 500 tahun sejak tahun 1400, terakhir kali ditinggali oleh Kaisar Puyi hingga tahun 1912. Sejak itu, kompleks seluas 7.2 kilometer persegi ini lebih merupakan sumber rebutan hingga akhirnya menjadi situs warisan budaya UNESCO tahun 1987.

Salah satu yang paling menarik di Forbidden City, buat saya, adalah bagian istana yang diperuntukkan untuk wanita (keputren, bahasa Jogjanya..). Diawali dengan pintu gerbangnya yang diberi tanggul setinggi sekitar setengah meter, konon supaya hantu kesandung dan tidak jadi masuk (masih ingat kan, hantu Cina di film Hongkong yang melompat-lompat?). Wah ini mah nggak bakal menangkal hantu Jawa, soalnya hantu Jawa melayang... 

Hal menarik selanjutnya adalah tulisan besar yang terpampang di dinding salah satu bangunan yang berarti "doing nothing" i.e. "nganggur"- menunjukkan sebegitu bosan dan terkungkungnya para putri Cina ini jaman dulu. Ada juga semacam bukit karang buatan yang di puncaknya berdiri sebuah pondok kecil, konon tempat para selir yang kangen pada desanya menyendiri untuk melihat gunung di mana desanya berada.
Walaupun hal di atas mengesankan kalau wanita Cina zaman dulu tidak punya daya, ada juga satu tempat menarik yang agak menjungkir- balikkan fakta ini: sumur sempit tempat Kaisar wanita Cixi menenggelamkan selir saingannya... hmmmm....

Karena kota terlarang ini sebegitu luasnya, saya harus berjalan setengah berlari untuk menuntaskannya sebelum jam satu siang (soalnya jam tiga sore saya harus ada di kantor untuk presentasi..!) Ada museum jam, museum perhiasan, museum giok, lumayan menarik tapi sebagian besar displaynya agak gloomy.

Akhirnya, saya berjalan keluar Kota Terlarang menuju Lapangan Tiananmen yang terkenal itu. Di dinding merah Kota Terlarang yang menghadap Tiananmen, foto raksasa Mao Zedong tersenyum memandang metropolitan Beijing yang sibuk. Langit masih abu-abu dan ratusan sepeda masih berseliweran di Tiananmen....

Malam itu saya melanjutkan perjalanan ke Maliandao, "jalan teh", tempat puluhan toko menjual teh bermacam jenis, kualitas, dan harga. Walaupun sudah sempat "riset" sebentar di internet, pusing juga harus memilih di antara puluhan jenis teh: teh hijau , teh merah, teh krisan, teh mawar,teh hitam, oolong... semuanya masih dibagi dalam berbagai jenis, kualitas, dan origin. Saya dijamu berbagai macam teh yang dibuat di depan saya (termasuk teh bunga yang merekah ketika diseduh). Setelah menawar dan memilih, dengan bahasa manusia dipadu bahasa monyet alias bahasa isyarat, akhirnya saya kembali ke hotel (sambil menahan "panggilan alam" gara-gara terlalu semangat mencicipi semua teh yang disuguhkan) membawa seperempat kilo teh hijau melati, teh merah, dan dua tea set cina yang super cantik. Semuanya sudah ditawar sampai puas!

Malam selanjutnya, saya menutup kunjungan ke Beijing dengan aktivitas yang paling menggiurkan di Beijing: shopping! Tujuan: the super famous Silk Market.

Silk Market menyambut semua pengunjung dengan ramah. Para penjual sibuk merayu dengan bahasa Inggris, Itali, Melayu... impressive! Tidak terlalu heran sih, karena konon tempat ini dikunjungi 20,000-60,000 orang dari berbagai negara tiap harinya. Di sini kita bisa menemukan tas, sepatu, berbagai produk kulit, segala macam garmen, cendera mata khas Cina, perhiasan, sampai golf clubs dan peralatan olah raga lainnya. Semuanya, tentu saja, "original copy"...

Setelah berjalan bebarapa saat, barulah saya menyadari sistim menawar di tempat ini. Kalau di Malioboro kita sering dinasihati untuk menawar setengah atau sepertiga harga, di sini aturannya adalah "tawarlah seberapa saja". Contohnya, sebuah sweater cashmere ditawarkan seharga 800 RMB (sekitar $112) lalu saya tawar 60 RMB. Si penjual juga tidak marah ditawar sebegitu rendah, dia cuma beraksi manja "You are joking, lady! But because you are very beatiful, I will give you special price, 600 RMB!" Hehehe, masih mahal cik... Akhirnya kami setuju harga 70 RMB, setelah penawaran alot plus acara menarik-narik tangan saya supaya tidak meninggalkan gerainya.
Tapi secara umum, para penjual-penjualnya baik dan selling sekali. Malam itu setelah gempor bercampur puas menjelajah pasar raksasa ini, saya berjalan setengah terseok membawa barang belanjaan. Sepatu Puma, sandal, tas kulit Tod's dan dompet Louis Vuitton (yang saya pilih dari katalog!), jaket Mango, cashmere Banana Republic, kaos, berpuluh macam cendera mata khas Cina, plus satu tas traveling tambahan (karena saya yakin koper saya nggak muat, hehehe). Semuanya bermerek, original copy!
Di atas taksi, saya masih berpikir, apakah saya mendapat good bargain atau salah satu korban rayuan Silk Market? Belum selesai lamunan saya, tiba-tiba mata saya terpaku pada pintu salah satu club yang kami lewati. Tertulis jelas dengan lampu berkedip "No nuclear weapon allowed"

"Hei, are they serious or joking?" tanya saya pada si supir taksi "don't they mean No Fire Weapon?"
Si supir melihat ke arah club yang saya tunjuk, lalu menjawab dengan serius,
"#&>^@#*$$!"
Saya mengangguk dengan serius juga. Oh, I like this city!

No comments