Saya menggunakan sepenuhnya transportasi publik (kereta dan bis) selama perjalanan ini . Maklum, traveling-nya bareng sama anggota Green Party Europe yang pecinta lingkungan, jadi harus selalu mengurangi polusi. Selain itu, naik kereta melintasi Swiss adalah cara terbaik untuk melihat pemandangan klasik pegunungan yang kayak dalam mimpi itu tuh. Sip banget!
Rhine Falls |
Hari pertama, saya memulai perjalanan dengan menuju Rhine Falls, dekat Schaffhausen, Swiss. Terletak di Swiss utara, air terjun ini adalah yang terbesar di Eropa. Walaupun tidak terlalu tinggi, tapi lebarnya mencapai 150 m dan debit airnya sangat tinggi. Untuk mencapai Rhine Falls, kita bisa berhenti di stasiun kereta Schaffhausen, selanjutnya naik bis atau kereta lokal (cuma sekitar 10 menit). Setelah mengagumi Rhine Falls, saya menyempatkan juga berjalan-jalan ke Schaffhausen, dengan kota tuanya yang berasal dari abad ke-11.
Lake Zürich |
Dari Schaffhausen, saya melanjutkan perjalanan ke Zürich, nggak sampai 1 jam dengan kereta. Kali ini tujuannya bukan cuma jalan-jalan, tapi juga ketemu dengan beberapa teman. Zürich adalah kota terbesar di Swiss, selalu ditajuk berbagai organisasi sebagai salah satu kota dengan kualitas hidup terbaik di dunia. Karena pajak yang rendah dan peraturan finansialnya menarik, banyak sekali perusahaan besar yang mendirikan headquarternya di sini. Selain itu, kotanya aman serta cantik, mengelilingi sebuah danau besar yang indah dan bersih.
Di Zürich saya bertemu dengan seorang teman lama yang berasal dari Finlandia, sebut saja namanya Miika. Bocah yang lumayan ganteng, lagi pintar dan baik hati ini, berkerja di sebuah perusahaan lumayan bergengsi di Zürich. Tapi dia sama sekali nggak bahagia. Dia merasa gagal serta kesepian, sampai kupingnya selalu berdenging setiap kali memasuki kantornya. Ternyata, menurut psikiater, ia mengalami stress akut dan mempengaruhi kesehatan jiwanya. Karena ini, Miika berencana balik kampung ke Finlandia, untuk melakukan pekerjaan yang benar-benar ia cintai: menjadi guide petualangan musim dingin.
Katedral di Abbey of St.Gall |
Ternyata di kota yang sempurna ini manusia ya cuma manusia, ada yang bahagia dan ada yang sedih (teringat Jakarta yang ruwet dengan saya yang bahagia makan sate ayam di pinggir jalan). Untunglah walaupun rada stress, Miika sempat menemani kami berjalan-jalan di kota tua Zürich dan mengitari sebagian danaunya.
Dari Zürich, kami menuju Saint Gallen, untuk mengunjungi Abbey of Saint Gall, sebuah kompleks roman katolik bersejarah yang kini menjadi UNESCO World Heritage Site. Abbey ini didirikan pada abad ke-8, dan memiliki salah satu perpustakaan zaman pertengahan terkaya di dunia. Koleksi perputakaannya sangat kuno, bahkan sekitar 400 buku umurnya sudah lebih dari 1000 tahun (haihhh). Saya juga sempat mampir ke University of St.Gallen, terkenal dengan program international MBA dan MM-nya yang selalu masuk top ranking dunia. Sekilas dari tongkrongannya aja, di sini bisa kelihatan tipe anak siapa yng belajar di sini (anak milyuner!)
Perjalanan tiga hari ini saya tutup dengan mengunjungi sebuah negara mikro, Liechtenstein. Walaupun bukan yang terkecil di Eropa, namun luasnya cuma sebesar Bandung. Tapi jangan salah, Liechstein ini kayanya bukan main, pendapatan perkapitanya paling tinggi kedua di dunia loh! Maklum, seperti negara kecil cerdas lain di Eropa, mereka menggunakan taktik pajak rendah dan peraturan finansial yang mudah untuk menarik perusahaaan besar dan investor lain. Saking suksesnya, jumlah perusahaan di Liechstein malah lebih banyak dari jumlah penduduknya.
Vaduz Castle, dilihat dari pusat kota |
Dari Zürich, ibukota Liechtenstein, Vaduz, bisa dicapai dengan bis selama 1.5- 2 jam. Di Vaduz, kita bisa mengunjungi Castle Vaduz, tempat kediaman kepala negara, Prince of Liechtenstein. Pemandangannya indah, tapi kita tidak bisa masuk karena kastil ini masih benar-benar digunakan sebagai tempat tinggal resmi. Selain itu, ada juga National Museum of Liechtenstein, yang menceritakan sejarah negara kecil yang menarik ini, serta Katedral St. Florin, katedral utama di Liechtenstein yang agama resminya adalah katolik roma. Walaupun turistik, tidak banyak yang bisa dilihat di Vaduz. Kayaknya kebanyakan turis cuma penasaran seperti saya, kepingin "tick the box" sudah pernah manjajakkan kaki ke negara mini ini. Saya sih merasa tempat ini sepi buanget!
Di akhir hari itu, saya balik ke Zürich untuk mengambil penerbangan kembali. Walaupun cuma sak nyuk, lumayan puas karena sempat mengunjungi banyak tempat. Hal lain yang membekas dari Swiss adalah: ampun deh, biaya hidup muahal buangetttt! Menurut beberapa indikator, hotel dan makanan di Swiss 25% lebih mahal dari New York atau 45% lebih mahal dari Paris. Untuk yang pingin jalan ke Swiss, siap-siap ngirit ya... Negara yang indah, ada harganya!
Update terbaru: teman saya Miika, setelah pulang kampung dan bekerja sebagai guide petualangan musim dingin di Finlandia, akhirnya bertemu dengan cinta. Sekarang ia sudah menikah dan hidup bahagia. Oh so sweeeet!
No comments