Eropa: Paris

Day 3

Mendarat di Paris pagi menjelang siang, saya langsung disambut dengan kemacetan yang luar biasa di jalanan. Hotel yang saya pesan lewat internet, meskipun namanya sangat romantis, ternyata lebih mirip hotel melati. Okay-lah, no problem, I'm going to go around anyway, kata saya dalam hati.
Saya pun turun ke bawah, sarapan, membaca koran, dan langsung menemukan berita terheboh hari itu: Paris sedang strike! (pemogokan adalah kegiatan rutin di sini, cuma kok ya pas saya di Paris....) Masalahnya, yang mogok adalah pekerja transport umum, jadi otomatis semua pelayanan transport publik terhenti.

Saya pun bertanya pada resepsionis, "What transport I should take?"
"Well, mam, you can not take anything. Undergrounds, buses, everything stops!"
"How about taxies?"
"They are also part of the strike"
"What if I rent a car?"
"That will be a nightmare, because today everybody is taking their cars. Streets are congested and traffic jams are everywhere"
"So what can I do?"
"Nothing, just stay in the hotel" kata si resepsionis setengah tidak peduli.

Pemecahan yang sama sekali tidak membantu! Tak lama kemudian, seseorang memberitahu saya kalau French dinobatkan sebagai orang-orang paling tidak friendly di Eropa....Hmm, no comment...
Tentu saja saya tetap memutuskan untuk keluar hotel. Saya langsung berjalan kaki menuju Eiffel yang memang hanya sekitar 1 km dari hotel. Jalanan lengang, tak ada kemacetan. Di tengah jalan, saya sempat melihat patung Liberty, serupa dengan Liberty di New York yang memang hadiah dari Perancis untuk Amerika. Hanya yang ini lebih kecil karena memang 'her little sister'.

Eiffel. Landmark Paris yang sangat terkenal; simbol romantisme, kecantikan, keindahan Paris. Begitu melihatnya secara langsung, saya tersadar: inilah hasil marketing yang sukses! Eiffel, paling tidak buat saya, terlihat agak gloomy, bahkan kotor dengan banyak pengemis berteduh di bawahnya. Namun demikian saya tentu saja tetap naik ke atas Eiffel lalu berfoto-ria dengan latar belakang kota Paris di pagi hari.

Tidak terkesan, saya pun tidak ingin lama-lama di sini. Saya melanjutkan dengan tur menggunakan bis double-decker terbuka (yang ternyata tidak ikut mogok). Pertama-tama ke Les Invalides, kompleks bangunan yang berisi museum dan monumen militer termasuk makam Napoleon Bonaparte. Lalu Place de la Concorde, square terbesar di Paris dengan sebuah obelisk granit setinggi 23 m yang diambil (atau dicuri?) dari kuil Luxor di Mesir. Selepas Revolusi Perancis, di sinilah para bangsawan yang dianggap bersalah, termasuk Louis XVI dan Marie Antoinette, dihukum penggal dengan guillotine.

Selanjutnya, masih dengan double-decker bus, saya menuju ke Notre-Dame de Paris, katedral gotik berumur lebih dari 800 tahun yang menjadi salah satu landmark Paris. Seperti layaknya gereja katolik, di sini banyak terdapat patung dan lukisan yang indah. Salah satunya adalah lukisan Maria yang menjadi ikon gereja ini (Notre Dame berarti "our lady", merujuk kepada Maria) serta patung Joan of Arc, pahlawan wanita Perancis yang dihukum mati oleh Inggris dengan alasan kemurtadan (heresy) yang kemudian dijadikan santa 490 tahun setelah kematiannya.

Malam hari itu saya berjalan-jalan di Champs-Elysees, avenue yang konon paling bergengsi dan termahal di dunia, bersaing dengan New York's Fifth Avenue. Jalan yang cuma sepanjang 2 km ini, dibatasi oleh Place de la Concorde di timur dan Arc de Triomphe di barat, dipenuhi toko-toko bergengsi plus kafe-kafe dan bioskop. Belanja di sini jelas tidak menarik buat saya, pertama karena harganya terlalu mahal, kedua karena sebagian besar barang-barang itu bisa saya dapatkan di Beijing atau Jakarta seperseratus harga di sini... hehehe...

Day 4

Pagi itu saya mulai, french style, di sebuah Boulangerie & Patissierie dekat hotel. Secangkir kopi dan quiche bayam paling enak yang pernah saya rasakan, huh.... benar-benar sarapan yang luar biasa.

Tujuan pertama hari itu adalah Museum Louvre. Meskipun sudah terkenal, museum ini menjadi lebih terkenal lagi sejak dijadikan lokasi opening scene dalam novel Dan Brown yang menghebohkan dunia, The Da Vinci Code. Memasuki entrance Louvre, kesan pertama yang saya rasakan adalah perpaduan antara arsitektur klasik (bangunan Palais du Louvre yang dibangun abad ke-12, aslinya didesain sebagai benteng) dengan arsitektur modern (piramid gelas yang dijadikan jalan masuk Louvre).

Louvre memiliki lebih dari 380,000 objek, dengan koleksi lukisan yang sangat kaya dan menarik. Di antaranya karya-karya Rembrandt, Titian, Rubens, dan tentu saja yang paling terkenal adalah lukisan karya Leonardo da Vinci: the Monalisa.
Saya menghabiskan waktu hingga sore di museum ini. Koleksi kebudayaan barat museum ini benar-benar sangat menarik. Namun ternyata, si Monalisa yang terkenal itu cuma lukisan yang kecil dan biasa banget deh....

Setelah makan siang , saya melanjutkan menuju ke Versailles, tempat istana monarki Perancis. Meskipun hari itu para pekerja transport masih mogok, namun untungnya pemerintah Paris menjalankan beberapa transport darurat secara gratis.

Chateau de Versailles mulai dibangun tahun 1142 di bawah Louis XIII, dimaksudkan sebagai kediaman pribadi Raja dan didanai secara pribadi pula. Namun dalam perkembangannya, istana ini semakin diperluas besar-besaran dengan dekorasi yang sangat mewah dan taman-taman luas dengan berbagai tanaman eksotik; tapi pendanaannya semakin mencurigakan. Kini istana yang sudah menjadi museum ini, beserta taman-taman yang mengitarinya, mencapai ukuran yang spektakuler: 1060 hektar.

Mengelilingi istana yang sedemikian indah dan mewah ini, saya bisa memahami bagaimana revolusi Perancis bisa meletus. Di saat rakyat hidup dalam kemiskinan, para aristokrat Perancis justru hidup dalam kemewahan yang berlebihan: dekorasi emas, perak, dan kristal, lantai dan dinding marmer, karpet dan hangings sutra, lukisan dan patung karya seniman nomor satu dunia, serta taman-taman yang dihiasi air mancur dan patung-patung mewah...

Saking indahnya tempat ini, saya benar-benar kehabisan kata-kata untuk melukiskannya. Untuk mengikuti virtual tour ke Versailles: http://www.chateauversailles.fr/.

Day 5

Pagi itu saya menuju the destination of all destinations in Europe: Europe Disneyland! (hehehe) Karena jalur kereta yang melayani Disneyland terpengaruh pemogokan, saya terpaksa naik taksi dan membayar lumayan mahal. Tapi demi Disneyland, I'd do anything!

Disneyland sebenarnya tidak jauh beda dengan Dufan, tentu saja dalam skala dan varietas lebih besar, serta lebih terpelihara. Yang paling berkesan di sini adalah pengalaman ketika saya naik roller-coaster Star War yang merupakan indoor roller coaster, gelap melintasi 'bintang', 'galaksi' dan 'planet' asing. Begitu keluar dari labirin itu, terus terang saja perut saya terasa tidak enak. Tapi salah satu penumpang, yang notabene memakai suite dan dasi (bolos kerja nih ye), langsung muntah-muntah begitu turun dari kereta. Yaks....

Setelah memuaskan my inner child, sore itu saya pun harus meninggalkan Paris untuk menuju ke negara berikutnya. Au revoir, Paris!

No comments