Saudi Arabia: Makkah


Bersamaan dengan jemaah umrah yang lain, tujuh kilometer dari Madinah kami tiba di "Abyar Ali" (sumur Ali). Diberi nama demikian karena konon sepupu Nabi Muhammad, Ali bin Abu Thalib, menggali sumur di tempat ini saat Nabi melaksanakan haji. Abyar Ali atau sering disebut "Byr Ali" ini dijadikan tempat "miqat": di mana para jemaah haji atau umrah mulai mengenakan pakaian ihram dan memulai ritual umrah/haji.

Ihram adalah pakaian yang harus dikenakan jemaah haji/umrah selama melaksanakan rukun ibadah tersebut. Untuk lelaki, pakaian ihram adalah dua helai kain putih tidak berjahit yang menutupi bagian bawah hingga di atas mata kaki dan bagian atas dengan bahu kanan terbuka. Tutup kepala dan alas kaki yang menutupi jari serta mata kaki tidak diizinkan. Untuk wanita, pakaian ihram adalah pakaian longgar yang hanya menampakkan wajah dan kedua telapak tangan; menutupnya tidak diizinkan.
Setelah mulai ber-ihram dan berniat melaksanakan ibadah, di sinilah larangan-larangan ibadah mulai berlaku hingga berakhirnya ritual. Memotong kuku, rambut, memakai wewangian, bercumbu (apalagi selebihnya..!), berkata kotor, dan berbantahan adalah dilarang keras. Ide dasarnya adalah kita melaksanakan ibadah ini, menghadap Tuhan, dengan kondisi suci dan sederhana tanpa memandang ras dan kedudukan.

Sepanjang perjalanan ke Makkah, kami terus mengucapkan talbiyah. Ucapannya dalam bahasa Arab, namun bila diterjemahkan kurang lebih "Ya Allah, kami memenuhi panggilanmu, wahai Tuhan yang tidak ada sekutu baginya. Segala pujian adalah milik-Mu, nikmat adalah dari-Mu, dan kekuatan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu!"

Kami mencapai Tanah Haram saat malam sudah larut. Dinamakan Tanah Haram, karena tanah ini disucikan; diharamkan untuk mencabut tumbuhan, membunuh binatang, juga berperang. Pendeknya: "inviolate zone". Semua membisu. Untuk saya yang pertama kali berada di sini, saat itu benar-benar mencekam (orang tua saya sudah pernah berhaji dan tinggal di Makkah lebih dari 2 minggu, jadi buat mereka mungkin lebih terasa seperti nostalgia).

Menjelang tengah malam kami pun tiba di Masjid al-Haram, jantung kota Makkah, tempat di mana Ka'bah berada. Saat memasuki masjid dan melihat Ka'bah yang berdiri tegak di tengahnya, saya sudah tidak mampu menahan air mata. Sedemikian sederhana, namun sedemikian agung. Tidak ada lukisan, atau ukiran, atau makam orang suci di sana. Inilah rumah Tuhan yang telah dilindungi oleh-Nya. Saya yang sedemikian hina dan berlumur dosa ini telah dikaruniai waktu, harta, kesehatan, kekuatan, dan kemudahan untuk mengunjungi rumah yang agung ini. Saya yang begitu kotor ini telah diundang oleh-Nya! Air mata saya terus mengalir dan saya mulai merasa malu pada beberapa orang yang mulai memandang saya dengan heran. Namun linangannya sungguh tak tertahankan lagi.

Kami langsung memulai umrah kami dengan ber-tawaf, mengelilingi Ka'bah berlawanan arah jarum jam sebanyak tujuh kali. Dilanjutkan dengan sholat tawaf, bersyukur atas selesainya tawaf di masjid yang mulia ini. Lalu kami melanjutkan dengan sa'i, berjalan antara bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali (jalan antara kedua bukit ini sudah berupa lorong marmer ber-AC yang berada di dalam Masjid Al-Haram itu sendiri). Setelah melakukan perjalanan sepanjang 3 km lebih sedikit ini, ritual umrah pun berakhir dengan tahalul, memotong rambut. Mau gundul juga boleh, tapi yang disyaratkan adalah minimum tiga helai rambut.

Lega dan bahagia, kami pun melanjutkan berzikir di Masjid Al-Haram menunggu waktu subuh tiba. Ketika subuh berakhir dan kami kembali ke hotel, barulah terasa betapa lelahnya badan ini.
Namun rasa lelah itu tampaknya begitu mudah terhapus. Hanya dua setengah hari di Makkah, kami sempat dua kali melaksanakan ritual umrah. Saya juga selalu menyempatkan untuk tawaf sebelum melaksanakan sholat wajib, yang berarti hampir 5 kilometer setiap harinya. Meskipun tidur kami paling banter cuma 4 jam sehari (sayang rasanya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, saat kita berada begitu dekat dengan masjid suci ini!), kami tidak merasa lelah maupun sakit. Benar-benar luar biasa.

Di Masjid Al-Haram, ada beberapa tempat yang dianggap istimewa karena konon doa di tempat tersebut tidak akan ditolak: salah satunya adalah antara Ka'bah dan Hijr Ismail, dinding berbentuk bulan sabit di barat daya Ka'bah; juga Multazam, dinding Ka'bah antara pojok Ka'bah yang bertempel Hajar Aswad dengan pintu Ka'bah. Salah satu hal yang juga disukai (karena pernah dilakukan Nabi Muhammad) adalah mencium Hajar Aswad, batu yang konon berasal dari surga.
Karena ribuan pengunjung semuanya ingin berdoa di tempat yang mustajab tersebut, termasuk juga ingin mencium Hajar Aswad, suasana dekat tempat-tempat tersebut sudah seperti zona perang. Liar! Sungguh menyedihkan, karena seharusnya justru dalam ibadah ini menyakiti sesama adalah terlarang.
Namun entah bagaimana, saya justru diberikan kemudahan: saya dapat memasuki Hijr Ismail dan berdoa di sana dengan leluasa, bahkan dapat mencium Hajar Aswad. Sepertinya hampir mustahil, karena yang berdesakan di sana hampir semuanya laki-laki dengan badan besar dilengkapi semangat perang untuk berdesakan. Lagi-lagi hadiah yang tak terkira dari Tuhan.

Saat saya harus meninggalkan Mekkah, hati saya benar-benar sangat sedih. Satu permintaan terus saya sebutkan: semoga saya diizinkan kembali lagi untuk melaksanakan haji.
Tanah Makkah ini begitu kering, tandus, tanpa keindahan apapun dalam pengertian umum. Namun di sinilah rumah peribadatan yang tertua telah didirikan, dan ke sinilah jutaan umat, yang ingin mempersembahkan hadiah kepada Tuhan Yang Esa, datang dengan segala daya dan upaya.

No comments