Pertama kali saya harus pergi ke Amerika adalah sekitar tengah tahun 2002, hanya beberapa bulan sejak kejadian 9/11. Bepergian ke Amerika setelah 9/11 masalah utamanya bukan duit, tapi lebih rumit lagi: masalah visa.
Jadilah setelah 2 bulan menunggu untuk mendapat jadwal interview, saya dengan rapi jali mengantri jam 6 pagi di depan kedutaan Amerika. Melewati berlapis-lapis penjagaan, akhirnya hampir jam 10 siang saya baru bisa masuk ruang wawancara bersama dengan puluhan orang lain. Beberapa pewawancara duduk di balik jendela, sedangkan yang diwawancarai berdiri di depan jendela itu. Gampang sekali menandai antara pelamar yang dapat visa dengan yang tidak dapat visa, karena biasanya yang tidak dapat visa bete-bete semua tampangnya. Seorang ibu-ibu setengah baya malah sempat bicara agak keras "Tolonglah, anak saya ini sudah sepuluh tahun nggak ketemu kakaknya... Masak ditolak terus visanya...?" Si pewawancara tidak berkomentar malah dengan dingin memanggil nomer berikutnya. Waduh, kok gini ya? Saya mulai cemas.
Akhirnya saya ketemu juga dengan si pewawancara. Dari balik jendela, si pewawancara menanyakan beberapa pertanyaan trivial tanpa melihat ke arah saya, cuma sekali-sekali melirik "What are you going to do? Where? Why?..."
Dan... ia pun mengecap formulir saya. Yeah, I got the visa! Saya yakin banget ini ada kaitannya dengan tampang innocent saya...
Tapi, begitu mendarat di Amerika, ternyata tampang saya sama sekali nggak innocent. Setiap kali melihat paspor Indonesia saya, saya langsung disuruh ngantri di barisan spesial (barisan teroris apa ya..). Setiap kali ada 'random check' di airport, saya pasti kena. Masalahnya, saya masih harus ganti pesawat domestik lagi, jadi setelah bolak-balik kena 'random check' dari ujung gundul ke ujung jempol kaki, saya sudah gondok banget.
Setelah perjalanan panjang dibumbui dengan rasa jengkel, saya sampai di kota tujuan. Langsung melompat naik ke atas taksi, saya melihat di spion depan ada hiasan berupa tulisan "Allah" dalam huruf Arab.
"You are moslem?" tanya saya pada si supir.
"Yes. I am Palestinian" katanya mantap.
Walah.
Teringat kenangan di atas, ketika baru-baru ini saya harus pergi ke Amerika lagi, saya langsung males. Orang Amerikanya sih rata-rata baik, tapi perjalanannya itu loh... Namun karena untuk urusan kerjaan, rasanya nggak ada pilihan lain. Visa lebih mudah didapat, malah saya langsung diberi visa 5 tahun, tapi perjalanan masih tetap dibumbui banyak penggeledahan dan pemeriksaan.
Pulangnya saya sempat seperjalanan dengan seorang teman warganegara Kanada tapi berdarah Siria (tampang dan namanya pun jelas arab). Ternyata berjalan bersama dia benar-benar merugikan, kena cek melulu!
Ketika saya tanya apakah dia memang selalu digeledah habis-habisan seperti ini, dia menjawab kalau dalam perjalanan memasuki Amerika, malah sempat diinterogasi di ruang tersendiri sampai hampir ketinggalan pesawat. Pertanyaannya melibatkan "Nama kakek? Pekerjaan kakek? Di mana saja kakekmu pernah tinggal?"
Waduh, kalau saya ditanya begini ya mana bisa jawab.......!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments