Dubai: Cerita Seorang TKW, Bagian 2: It's Not My Place

Hingga sekitar awal tahun 2000 yang lalu, Dubai adalah padang pasir dengan beberapa biji gedung dan debu tebal. Sekarang, Dubai adalah kota dengan ratusan pencakar langit. Ada Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia, dan Burj Al Arab, hotel tertinggi dan termahal di dunia (yang selalu fully booked, kok iso ya). Ada Palm Jumeirah, pulau buatan seluas hampir 6 km2 berbentuk palem raksasa yang dipenuhi hotel dan bangunan mewah. Lalu pastinya ada juga mall terbesar di dunia: Dubai Mall.

Meskipun, saat artikel ini saya tulis, beberapa proyek yang saya sebutkan di atas belum sepenuhnya selesai, Dubai sudah genap menjadi the newest world's hottest destination.

Madinat Jumeirah (ini shopping mall loh) dengan Burj Al-Arab di belakangnya

Pembangunan dan ekonomi yang sedemikian pesatnya tentu saja menarik banyak orang untuk datang ke Dubai. Apalagi, pajak di Dubai 0%! Bayangkan, betapa ngilernya orang eropa yang di kampung halamannya membayar 50% pajak, untuk segera pindah ke Dubai. Mereka yang di negara asalnya berpikir ratusan kali sebelum membeli mobil, di sini dengan gaya menyetir Porsche, Mercedez, atau Ferrari. Selain tanpa bea masuk, pajak nil, bensin juga disubsidi. Jangan heran kalau jalanan Dubai dipenuhi mobil-mobil paling mutakhir dan mahal di pasaran dunia.

Masalah fasilitas, di Dubai semuanya ada. Jalanan yang mulus dan lebar, pelayanan publik yang efisien, didukung dengan penegakan hukum yang pasti (mau menyuap polisi? Wah, hitung-hitung dulu deh sebelum masuk penjara). Masalah hiburan, buat para pecinta kehidupan malam, jep ajep ajep ajep, Dubai is your perfect haven! Ada puluhan clubs, discos, bars...... you name it! (lu kira orang arab di sini kalau malam ngaji semua?)

Masalahnya, saya suka tidur gasik. Night life? Not for me. Saya lebih suka jalan-jalan ke alam bebas, melihat pemandangan, dan paling cinta sama peninggalan bersejarah... Inilah yang Dubai tidak punya. Kota ini begitu artificial, semuanya man made, semuanya baru dibangun kemarin lusa, tanpa cerita, plus rada materialistik. Di musim dingin, kita masih bisa menikmati alam dengan berkendara offroad dengan 4x4 vehicle ke padang pasir. Di musim panas jangan coba-coba karena temperatur bisa mencapai 50 C.
Untuk kompensasi, saya biasanya pergi shopping (yah gimanapun saya memang rada materialistik juga sih *ampuni hamba*). Semua brand ada di sini dan discount ada terus sepanjang tahun. Tapi, untuk barang non merek dengan kualitas top, Indonesia masih tidak ada duanya. (Jadi kalau ketemuan saya di Indonesia, tolong jangan diajak ke mall ya. Ke pasar aja.)
Sayangnya, shopping ini tidak bisa dilakukan rutin. Selain cepat bosan, bisa bangkrut lah.

Jadilah kegiatan favorit saya di weekend (kalau tidak keluar kota) adalah nonton bioskop dan makan. Ada 1001 restoran di Dubai, mulai makanan Arab, India, Thailand, sampai makanan Indonesia. Mulai dari yang $200 sekali makan atau $2 berdua.
Selanjutnya, menikmati bermalas-malasan di atas sofa, nonton TV. Atau masak kalau lagi mood.

Yah, itu mah nggak usah tinggal di Dubai juga bisa.. ?

Memang! Kan sudah saya bilang kemarin, Dubai is not my favorite place!

Fun fact buat yang suka shopping: Dubai selalu menggelar shopping festival tiap tahunnya. Diskon besar-besaran di semua toko! Kalau mau berkunjung (karena baru menang lotere atau memang aslinya kebanyakan duit), ini saat yang tepat. Meskipun cuaca sedang nyaman (temperatur sekitar 18-20 C), harga hotel meroket dan tiket pesawat ke Dubai sulit dicari. Awal tahun 2000-an, harga di Dubai bisa disamakan Jakarta, tapi sekarang sudah berlipat-lipat lebih mahal.

1 comment