Kapal kami berlepas dari Luxor senja itu, menuju ke Aswan. Saya bergabung dengan para penumpang yang lain, duduk di atas dek menikmati belaian angin sore Nil yang hangat. Di sepanjang tepian Nil, waktu seakan-akan berhenti: semuanya serba tradisional. Kerbau sedang berendam, anak anak bermain air, para wanita sibuk dengan urusan rumahnya, para petani pulang berladang, ribuan pohon kurma, mangga, dan gandum, semuanya berkilau ditimpa cahaya keemasan matahari sore.
Hari selanjutnya, kami berhenti untuk mengunjungi kuil Kom-Ombo dan kuil Horus, masing-masing didirikan untuk memuja dewa favorit penduduk Mesir kuno setempat. Saya terus terang sudah lupa ada berapa puluh dewa, karena guide kami terus nyerocos, tiap hari mengenalkan nama dewa-dewa baru. Bahkan dewa-dewa ini bisa merging (kayak perusahaan), supaya pemujanya tidak terus menerus berperang. Contohnya dewa Amun dan dewa Ra, yang di saat kemudian menjadi dewa Amun-Ra. ide bagus buat menghindari berantem...
Kami pun melanjutkan pelayaran ke Aswan. Saat itu saya sudah bosan dengan sejarah (siapa yang membangun apa, berapa ribu tahun yang lalu, digantikan oleh siapa... terserah). Sebaliknya, saya sedang dimabuk perasaan romantis, maklum pemandangan luar biasa cantiknya. Saya cuma duduk-duduk di atas dek, menikmati pemandangan, memesan es krim dengan rasa berbeda setiap jam, dan memotret setiap rumah, binatang, atau manusia yang ada di tepian Nil....
Ketika akhirnya kami tiba di Aswan, saya tidak bisa lagi melarikan diri dari sejarah.
Dam Aswan, yang dibangun untuk mengatur aliran Nil, telah membentuk danau buatan Lake Nasser (atau disebut Lake Nubia oleh orang Sudan). Danau buatan raksasa yang luasnya sekitar 5250 kilometer persegi ini, otomatis menenggelamkan banyak desa dan situs bersejarah. Menariknya, ada beberapa situs yang diselamatkan, stone-by-stone, untuk kemudian dibangun lagi di tempat yang lain, stone-by-stone! Asli tapi palsu, jadi saya pura-pura melupakan fakta menyedihkan ini.
Salah satu situs tersebut adalah Kuil Isis di Philae, tempat yang selanjutnya saya datangi. Aslinya didirikan pada zaman Ptolemaic (dinasti asal Yunani yang menguasai Mesir 305-30 BC) di atas pulau Philae, kini direstorasi kembali 550 m dari situs aslinya. Untuk mencapai Kuil Isis kita harus menggunakan kapal kecil menyeberangi Lake Nasser. Kuil Isis populer dengan kualitas romantismenya; bagaimana tidak, dengan kolom-kolomnya yang tinggi dan berornamen indah, terpantul pada air yang biru jernih... Benar-benar tempat yang puitis...
Tempat terakhir yang saya kunjungi di Aswan, juga patut dicatat dalam sejarah: sebuah restoran lokal yang masakannya enak sekali. Dengan roti Mesirnya yang masih panas, restauran ini benar-benar best-kept secret...(terimakasih Lonely Planet, buku traveling andalan!).
Fun fact: Bicara tentang romantisme, siapa yang tidak ingat Cleopatra. Cleopatra, pharaoh Mesir kuno terakhir, yang sekaligus terkenal sebagai simbol kecantikan Mesir, sebenarnya adalah orang Yunani. Cleopatra dan beberapa pharaoh sebelumnya adalah dinasti Yunani yang memerintah Mesir kuno beberapa ratus tahun sebelum runtuhnya kerajaan ini. Konon dia bahkan nggak bisa ngomong bahasa Mesir kuno.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments